Oleh: S.Takdir Alisjahbana
Meskipun ilmu dan filsafat sangat menarik hati saya dan sangat banyak
waktu yang telah saya untuk keduanya, tetapi kalau saya hendak jujur
tentu saya akan berkata : menulis sastera baik berupa puisi maupun
berupa roman lebih lebih memberikan kepada saya perasaan kebahagiaan.
Sebab dalam sastera saya dalam keadaan orang
pencipta yang bebas menumbuhkan perasaan, pikiran, dan fantasi dan
menyusun sekaliannya dengan kebebasan menjadi sesuatu yang menjelmakan
keperibadian saya. Hasrat dan dambaan, kegirangan dan maupun kesedihan
saya dapat saya lepaskan sebebas-bebasnya.
Tentu dalam menulis
karangan sastera itu ada waktunya segala sesuatu dengan lancar, tetapi
sering pula kita berjuang amat lama untuk sebaris, atau alenia atau pun
satu halaman.
Beberapa kali kertas-kertas di sobek, dan kita
kembali memulai dari semula. Dan meski bagaimana sekalipun kita berusaha
kita untuk mencapai yang sebaik-baiknya, disisi bagian-bagian yang
menyenangkan kita, yang senantiasa kita hadapi bagian-bagian dari
ciptaan kita timbulkan perasaan tak puas. Terhadap bagian-bagian yang
memuaskan, yaitu yang terasa mengemakan jiwa kita yang sesungguhnya,
saya sering bersifat Adonis yang girang menikmati bayang-bayang wajahnya
dalam cermin.
Si penulis bukan saja menjadi pembaca yang
pertama, tetapi pembaca yang berulang-ulang membaca karyanya sendiri.
Kira-kira umur 15 tahun sayang mulai menulis untuk majalah Jong Sumatera
dalam bahasa Belanda dan Indonesia yang ketika itu masih bernama bahasa
Melayu; ketika itu saya murid Sekolah Guru di Muara Enim, Kemudian
ketika saya berumur 17, 18 tahun dan belajar pada sekolah guru lanjutan
di Bandung.
Mulailah saya menulis beberapa bab yang pertama
kali Tak Putus Dirundung Malang. Pada ketika itu saya boleh di katakan
tidak sedikit juga pun mempunyai pengertian kesusasteraan, sebab baik di
sekolah guru di Muara Enim maupun di sekolah guru di Bandung, tidak
sedikit pun jua di ajarkan sastera.
Demikianlah waktu menulis
bab-bab yang pertama Tak Putus Dirundung Malang itu saya hanya di dorong
oleh perasaan kesedihan yang luas yang sering menghinggapi anak-anak
muda seumur itu.
Dalam menulis itu yang saya tahu hanyalah
bahwa saya hendak menciptakan sesuatu yang sedih. Mungkin di baliknya
terletak perotes mengapa ada sedih, mengapa ada orang yang selalu di
rundung malang? Roman ini kemudian diselesaikan di Bandung dalam tahun
1928 ketika saya berumur 20 tahun dalam cuti tiga bulan dari pekerjaan
sebagai guru rendah di Palembang, sebab sakit jantung yang mungkin ada
hubungannya dengan wafatnya ibu saya waktu itu.
*Dikutip dari
buku Proses Kreatif jilid 2 (Mengapa dan Bagaiman Saya Mengarang) Editor
: Pamusuk Eneste terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. halaman 1-2
Note : Pada bab "Pengalaman Sekitar Menulis Karangan Sastera" - S. Takdir Alisjahbana- akan di tulis menjadi beberapa bagian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Pengalaman Sekitar Menulis Karangan Sastera (Bagian 1)"
Posting Komentar