Jerat

Ilustrasi: Hery Pramono
Cerpen Guntur Alam (Suara Merdeka, 14 April 2013)

AKU baru saja membunuh ayahku dan meninggalkan Ibu yang menangisinya. Heran, seharusnya perempuan itu tertawa bahagia karena aku sudah mewujudkan keinginan yang bersemayam dalam hatinya. Mungkin dia terlalu pengecut untuk mengakui itu. Atau bisa jadi, sebenarnya Ibu tengah bersandiwara di depan tetangga, kalau dia begitu kehilangan laki-laki brengsek itu. Padahal kenyataannya, dia senang bukan kepalang.
Sekarang, polisi pasti tengah memburuku dan pembaca berita di tivi akan mewarta peristiwa ini dengan suara bergetar.
Tentu saja aku dapat menebak raut muka penonton di rumah. Ada yang merinding ngeri, ada yang memaki, ada pula yang menyebut nama Tuhan berkali-kali. Pastinya, tidak akan ada yang memuji kelakuanku ini.
Sebenarnya, sudah lama sekali aku memimpikan menggorok leher ayahku. Seandainya ini aku ceritakan ke orang-orang, apa mereka akan mengaitkannya dengan kisah zaman dulu? Ketika seorang kekasih Tuhan diberi ilham lewat mimpi untuk menyembelih anak kesayangannya.
Kau telah jadi Nabi. Mungkin itu yang akan orang-orang ucapan dan mereka akan datang berbondong-bondong kepadaku, meminta berkat, meminta doa, meminta keselamatan, meminta kekayaan, dan segala macam permintaan yang banyak—orang-orang memang tak pernah berhenti meminta-minta. Lalu mereka akan jadi pengikutku. Tentu saja, jalan cerita ini akan berbeda. Aku tidak akan berlari dari kejaran polisi.
Tapi ini bukan impian semacam itu. Aku memimpikannya dalam kepala dan rencana yang matang—apa nanti bila tertangkap aku akan dijatuhi hukuman mati? Dan tengah malam tadi benar-benar aku wujudkan dengan sempurna.
Saat Ayah pulang seperti biasa, dia mabuk, kalah berjudi, dan racauan kotor tentang Tuhan, aku menyiapkan seutas tali nilon untuk menjerat lehernya. Tak lupa aku siapkan juga pisau dapur untuk menyembelihnya.
Ibu membukakan pintu, dicaci-maki, ditampar, ditendang, bahkan diinjak-injak karena dianggap tidak becus mencari uang. Pasti lelaki brengsek itu marah dan kesal karena nasib sialnya hari ini. Dan kami yang jadi sapi perahannya harus menanggung semua itu. Ini semacam dosa yang dilimpahkan, bukan yang diturunkan.
Aku muak sekali melihat pemandangan ini bertahun-tahun, sejak SMP sampai hampir lulus SMA sekarang ini. Terlebih sejak Ayah kerap juga memukulku dan kejadian ketika aku di bangku kelas tiga SMP itu. Aku ingat betul. Dia hampir membunuhku, mencekik, dan menjerat leherku dengan seutas tali gara-gara aku menolak permintaan biadabnya. Aku menggapai-gapai udara, mataku melotot hampir meloncat dari rongganya. Melihatku yang tak berdaya, dia melepas jeratan. Aku terkapar di lantai dan dia mencabik-cabik bajuku dengan beringas. Tak ada yang bisa kuperbuat ketika aku merasakan antara hidup dan mati itu, dia menggumuliku penuh nafsu. Rasanya aku ingin mati saja saat itu. Dan Ibu… perempuan itu meringkuk ketakutan di kamarnya. Dia tidak peduli dengan jeritan, tangisan, dan erangan dari kamarku.
Jadi aku merasa puas sekali ketika menjerat lehernya dari belakang. Lelaki itu menghantam segala yang didekatnya untuk meloloskan diri. Aku menjepitkan kedua kakiku di perutnya dan menarik sekuat mungkin tali di lehernya. Ibu hanya terpaku ketika kami berguling-gulingan di lantai. Lelaki itu berkelojotan. Bau alkohol menyeruak. Saat dia sekarat, aku melepaskan jeratan dan menyembelihnya di depan Ibu.
Ibu terngangah. Matanya membulat, dia menutup mulut dengan mata berurai basah.
“Aku sudah menunaikan tugas suci, Bu,” desisku dengan pisau dapur yang anyir berlumur. Perempuan itu terduduk, lalu beringsut mundur. Ketakutan. Mungkin.
***
ENTAH apa yang merasuki jiwanya, aku tidak tahu. Dia telah menjelma iblis yang menakutkan. Aku pun tak tahu harus berbuat apa saat itu, tahu-tahu dia menyergap ayahnya yang mabuk dari belakang. Menaiki punggungnya, menjepitkan kedua kaki di pinggang, dan menjerat leher lelaki itu dengan kuat. Mereka bergulingan di lantai, kaki yang sekarat itu menerjang ke segala arah. Tapi dia tak mengendurkan jeratannya. Aku melihat mata merah lelaki itu semakin merah, tapi bukan karena mabuk lagi, melainkan karena darah yang menggumpal di matanya. Lalu dia melepaskan jeratan itu. Kupikir, dia akan mengampuninya. Ternyata aku salah. Tak ada ampun bagi pendosa.
Aku sudah menunaikan tugas suci, Bu.
Aku merinding mendengar kata-katanya itu. Lalu dia bergegas pergi, meninggalkan rumah, menerobos malam yang pekat. Aku gemetar. Tak tahu harus berbuat apa.
Aku juga tidak tahu perasaanku saat itu. Senangkah atau sedih? Sesungguhnya, aku sudah lama sekali bermimpi menghabisi laki-laki brengsek itu. Sering kali aku terjaga malam-malam dan melihatnya tidur pulas di sampingku, ada pikiran yang menyelinap. Cekik, jerat, atau tusuk saja jantungnya dengan pisau hingga tewas. Tapi aku selalu tak punya keberanian. Aku terlalu penakut untuk melakukannya. Bahkan ketika dia dengan teganya merenggut kegadisan anaknya sendiri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku malah bersembunyi dalam kamar, memandang Maria dan Juru Selamat dengan derai air mata.
Itulah mengapa ketika aku melihatnya terkapar bersimbah darah, aku tak berbuat apa-apa. Aku tidak menjerit minta tolong atau segera menelpon ambulans untuk membawanya ke rumah sakit. Aku hanya diam dan memandangnya tanpa perasaan bersalah, sedih, atau juga gembira. Aku merasa hambar.
Dan mungkin inilah kegilaan yang pernah kulakukan seumur hidupku. Setelah satu jam terduduk tanpa tahu harus berbuat apa, aku membuat perayaan kecil untuk kematiannya. Kuambil dua gelas dari lemari dapur, lalu mengeluarkan sebotol vodka yang kusimpan di belakang tempat beras. Aku mengajak mayat suamiku itu bersulang, merayakan kematiannya.
Saat itulah aku baru menangis meratapinya. Ternyata aku masih saja mencintai laki-laki brengsek ini. Walau dia sudah menghancurkan hidupku, hidup anak gadisnya, dan hidupnya sendiri. Semua mimpi buruk ini berawal dari kebangkrutannya. Semua usaha gulung tikar, dia berhutang ke sana ke mari, satu persatu hal yang dia kumpulkan disita. Dia lari pada alkohol, judi, dan pelacur pinggir jalan.
Di situlah dia mendapat ilham dari iblis laknat. Pelacuran. Bisnis yang menguntungkan tanpa perlu kerja keras. Sayangnya, dia tidak punya sapi peliharaan selain istri dan anaknya. Biadabnya, dia merasa justru itu tambang yang sempurna.
Anakku tentu menolak tapi dia memaksa bahkan menggagahinya. Usainya, dia dengan enteng berkata, “Sekarang kau sudah tak perawan lagi. Jadi tak ada alasan untuk menolak!”
Aku mencengkram gelas vodka ini dengan kuat. Membantingnya dan memaki-maki mayatnya yang bersimbah darah. Kuambil botol vodka yang sudah kosong itu, membantingnya juga ke lantai. Kuobrak-abrik semua yang ada. Meja, kursi, foto-foto di dinding. Semua hal yang terjangkau olehku. Aku marah. Aku tak tahu kenapa aku marah sekarang.
“Kau memang pantas mati!” makiku.
***
TANGANKU masih belepotan darah Ayah. Sudah sedikit mengering, aku tak sempat mencucinya tadi. Menyadari itu, aku segera menyembunyikan kedua tanganku. Aku tak mau ada yang melihatnya, lalu mencurigaiku sebagai pembunuh yang melarikan diri. Tak ada satu pun penumpang bus ini yang menyadari, kalau di antara mereka ada pembunuh.
Aku merasa tanganku masih gemetar. Tadi saja, aku menggigil ketika membuka kemasan air minum dan melihat percikan darah Ayah yang sudah mengering. Baju kaos di balik jaketku ini juga ada banyak noda darahnya.
Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan saat ini. Apakah dia membuat perayaan atas kematian Ayah? Atau justru dia sudah melaporkan kejadian ini ke polisi dan polisi sudah menyebar fotoku sebagai tersangka pembunuh yang melarikan diri. Bisa jadi. Perempuan itu pasti ingin selamat sendiri dan dia tidak akan peduli padaku. Setelah kasus ini usai, dia bisa melacurkan dirinya sendiri. Tak perlu jadi sapi perahan Ayah. Mungkin saja nasib baik berpihak padanya, ada seorang laki-laki hidung belang yang berkenan menjadikannya simpanan. Hidup mewah dan melupakan masa lalu yang kelam.
Sementara aku? Jeratan di leher yang Ayah perbuat memang tak membunuhku, bekasnya pun sudah lama menghilang. Tapi sesungguhnya, jeratan itu terus mencekikku sampai detik ini. Jeratan itu sudah membunuhku saat Ayah pertama kali meniduriku. Lalu puluhan laki-laki yang tak kukenal dan tak bisa kuhitung jumlahnya. Aku bahkan tak tahu siapa ayah dari makhluk dalam perutku ini. Bisa jadi dia anak sekaligus cucu dari Ayah. Atau dia anak laki-laki berdasi, kepala botak, perut buncit, dan hanya kuat dalam semenit menggumuliku. Mungkin juga dia anak seorang mahasiswa berduit yang dua bulan silam membayarku selama semalam suntuk. Bisa jadi sebenarnya ini anak dari pacarku sendiri. Reno. Kasihan. Cowok tujuh belas tahun itu tak tahu apa-apa. Dia girang bukan kepalang ketika aku bersedia diajak tidur. Pasti dia merasa beruntung dan tak mengerti sama sekali. Cukup aku sedikit meringis kesakitan. Dia merasa sudah mendapatkan yang pertama. Laki-laki di mana-mana ternyata sama. Brengsek dan menyebalkan.
Aku tak tahu, apakah aku harus menangis saat ini? Tapi untuk apa? Menangisi kematian Ayah? Apa peduliku? Dia saja tidak peduli dengan nasib anaknya ini. Kalau dia peduli, mana mungkin menjeratku sampai sekarat seperti ini. Mana mungkin pula dia memaksaku dua kali aborsi karena kebobolan lagi—dan itu sampai membuatku ingin mati karena sakitnya. Atau aku harus menangis untuk meratapi nasib Ibu yang jadi janda sekarang? Ah, persetan dengan status itu. Bersuami atau pun janda, tak ada bedanya bagi Ibu. Justru Ibu harus mengucapkan terima kasih padaku karena sudah melepaskan dia dari jeratan Ayah.
Penumpang bus malam tertidur pulas. Aku tak memedulikan mereka. Aku juga tak berpikir secara matang, akan kemana bus ini bergerak. Tadi aku hanya naik tergesa pada bus yang akan segera berangkat. Aku meringkuk sendiri, mendekap makhluk dalam perutku. Aku ingin mencari tempat yang tak bisa menjerat aku dan anakku, tempat yang tak ada seorang pun mengenali kami termasuk neneknya. Hanya itu.
***
SETELAH puas meluapkan amarah. Aku kembali menangis sesugukan. Tangisan kali ini untuk meratapi kebodohan dan ketakutanku sendiri. Menangisi ketidak-berdayaanku. Aku yang tak becus menjadi Ibu yang baik bagi anakku, hingga hidupnya demikian kelam.
Laki-laki ini memang tak pantas menjadi Ayah. Dia juga tak pantas hidup lebih lama.
Aku segera menyusut air mataku. Air mataku terlalu berharga untuknya.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
Aku terdiam. Menatap sosok tak bernyawa dengan simbahan darah itu.
Apa aku harus memotong-motong dan membuangnya secara terpisah? Ah, aku tak punya keberanian untuk melakukan itu. Atau aku harus melaporkan kejadian ini pada polisi dan mengatakan, anakku yang membunuh ayahnya.
Aku terdiam. Kuambil pisau dapur bersimbah darah itu. Juga tali nilon yang menjerat leher lelaki brengsek ini. Kupegang seluruh bagian tali nilon. Juga gagang pisau dapur. Mungkin hanya ini cara yang bisa menjadikan aku layak disebut Ibu.
Gegas kubuka pintu rumah dan aku berjalan terburu-buru menuju rumah Pak RT. Langit subuh temaram. Jalanan masih lengang, suara serak dari toa masjid yang memanggil orang shalat terdengar. Aku merinding.
Kuketuk pintu rumah Pak RT dengan keras. Tak ada sahutan. Aku terus mengetuknya. Terdengar suara orang menyahut di dalam. Derap sendal yang mendekat. Lalu pintu kayu itu terkuak. Seorang perempuan dengan daster dan tangan memegang lap menyembul.
“Eh, Bu Dea. Ada apa pagi-pagi ke sini?” sapanya.
“Pak RT ada?” tanyaku. Mungkin dia belum melihat pisau berlumuran darah yang kupegang.
“Masih tidur. Ada apa ya?” tanyanya lagi.
“Bangunkan Pak RT, Bu. Suruh telepon polisi. Aku baru saja membunuh suamiku,” ucapku dengan suara datar.
Perempuan itu terbelalak, lap di tangannya terjatuh ke lantai. Dia tersurut mundur melihat pisau dapur yang berlumuran darah di tanganku. (*)


C59, 25-26 Maret 2013
Guntur Alam, lahir di Tanah Abang, Muara Enim, Sumatera Selatan, 20 November 1986. Cerpennya tersebar di berbagai media massa. Novel teranyarnya: Jurai-Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian, Gramedia Pustaka Utama (2013). Kini alumni Teknik Sipil Universitas Islam “45” Bekasi ini menetap di Bekasi – Jawa Barat.


0 Response to "Jerat"

Posting Komentar