Nyanyian Hujan


Tadinya aku betul-betul tak percaya pada bait lagu “Mendung tak berarti hujan” kini lagu itu kusalahkan ternyata mendung betul-betul pertanda akan datangnya hujan. Area pasar Prabumulih khususnya, entah daerah lain bernasib samakah? Hujan yang beberapa bulan ini tak pernah turun akhirnya turun juga. Padahal rencananya, sabtu pagi besok seluruh Ormas Islam akan melakukan sholat istisqa’ (minta hujan) di lapangan Prabujaya. Ah, untunglah Alloh Maha Tahu.
Intensitas rintiknya lumayan banyak dan cepat membakar semangat untuk memenuhi nazarku. Ah, Nazar? Yang pusti jangan ditambahi Udin karena nggak ada hubungannya sama sekali dengan kasus Wisma Atlet.
“Pokoknya aku akan berlari kesana-kemari kalau hujan membasahi,” kataku pada temanku setelah sekian lama tanah Prabu gersang dan berdebu.
“Jar, kau tuh lah besak! Masa kecik kurang bahagia apo?” balas temanku mendikte hasratku.
“Hey, Sob justru dari itu masa kecilku bahagia malah aku ingin sekali mengulanginya! Lagian besak itu jangan dijadikan batu penghalang untuk suatu kebahagiaan yang ingin kita dapatkan, ia bebas, lepas tanpa intervensi, wajar mukamu lebih tua dari umurmu Sob!” singgungku puas.

Kutitipkan tas yang berisi netbook, buku-buku, dan berkas-berkas penting yang akan rusak bila basah. Arlojiku lenggang dari pergelangan tangan, dompet disaku belakang dan bulpoin yang selalu nyantol di kantong kemejaku masuk juga ke dalam tas mengikuti komando tuannya. Kutitipkan pada Toko Komputer kenalanku. Kuyakinkan aku akan ambil lagi nanti.

Anak-anak kecil bertelanjang dada sudah menari riang menyambut kedatangan sang hujan. Aku masih ragu. “Akankah akan berlangsung lama hujan perdana ini?” pikirku bimbang. Lamat-lamat kutarik helaan nafas beriring countdown 10 sampai 1. Yip… yip… Shogunku meluncur girang berliuk-liuk dalam derasnya hujan. Kuarahkan tungganganku ke arah jalan mendaki, lalu aku putar balik dan menurun. Kini ribuan panah air kecil-kecil menyergap mukaku. Aku berteriak tertawa lepas, beban pikiranku jua dibawa terbang bersama debu jalanan yang menguap. Aku bahagia kawan! Aku ulangi Aku bahagia…

Oh iya, Aku ingat dahulu sewaktu kecil hal pertama yang kami cari saat mandi hujan adalah pancoran. Ya, pancoran yang paling besarlah yang menjadi tempat pertapaan terspektakuler bagi kami. Ada banyak keseruan yang bisa dibuat di bawah cucuran air yang mengalir deras dan kuat. Mulut kami bisa mangap besar untuk menadah air jatuh itu, lalu mengeluarkannya kea rah yang berbeda, lebih senang lagi kalau aku menyemprotkannya ke muka temanku yang malang. Punggung kukaparkan dibawahnya, ini seperti pijat refleksi gratis kawan! Ah, bahagianya.

Hujan masih konsisten malah lebih deras dari semula. Senyumku makin berkembang. Masih banyak nyanyian yang belum aku dendangkan bersamanya. Aku pergi ke rumah kakak perempuanku yang punya bedeng 5 pintu (artinya ada 5 rumah) di penghujung deretan itu terdapat pancoran utama (bisa dibilang begitu). Tambah senang pula aku jadinya. Sesampainya di sana. Alamak, keponakanku sudah menari-nari mengikuti melodi hujan. Ia berjingkat-jingkat di bawah cucuran atap rumah. Langsung ku gendong dia, kami mencari pancoran yang besar. Bingo! Bawahnya batu-batu koral tersusun memikat hati. Kami tertawa, kami menari, kami menyanyi dan kami bahagia. Aku pastikan, aku adalah Om-nya yang paling dia ingat nanti yang paling berkesan dalam hidupnya.

Hujan mulai reda. Muka-muka kusut orang-orang sok dewasa mulai ingin menguasai hari. Sibuk meneruskan aktifitas dan kepenatan hidup yang tadi sempat terhenti karena hujan. Banyak sekali di luar sana orang yang ingin mencari bahagia, malah tak menemukan secuilpun suka, padahal bahagia ada disekitarnya. Aku ingatkan kau kawan! Mau bahagia? Amatilah anak-anak kecil, perhatikan betul-betul, merekalah manusia paling bahagia di dunia ini. Tidak perlu memikirkan kasus Century, hidupnya tidak terbebani oleh aturan-aturan yang orang buat. Mereka bebas, sesederhana itu mereka menikmati hidup, makanya muka mereka tak ada yang “suram” seperti kebanyakan orang tua. “Jadilah anak kecil!” kataku kalau kamu ingin menikmati hidup. Lantas aku teringat pertanyaan seorang teman “Bisakah kita kembali ke masa kecil?” tanyanya lewat sms. Aku jawab “Secara fisik tentu tidak, namun fikiran kita bisa.”
Kecil bukan berarti tidak dewasa. Karena kedewasaan itu bukan saja soal umur melainkan bagaimana caranya berfikir. Kedewasaan terletak pada bagaimana ia menyelesaikan masalah hidupnya. Banyak sekali orang-orang tua di seberang sana (tersinggung ya?) menyelesaikan masalahnya secara kekanak-kanakan.

Jadi kalau mau bahagia mandilah hujan dan jadilah seperti anak kecil!

By : Embun Fajar

0 Response to "Nyanyian Hujan"

Posting Komentar