7 Februari 2014 pukul 13.00 WIB mendung putih
menyelimuti langit kota ini ditambah dengan rinai derasnya berjatuhan sesuka
hati. Cipratan air hujan mengenai bagian bawah celana sekolahku, sepatu pun
ikut basah juga pastinya. Berteduh di bawah gapura sekolah sungguh sebuah
pilihan terakhir ‘seperti
berteduh di dalam bambu’.
Payung tak bawa, menerobos berlari menuju halte pun tak mungkin kulakukan. Hanya
menunggu hujan segera reda jalan satu-satunya.
Setengah jam sudah hujan mengisi sesi siang
akhir minggu ini, derasnya sedikit berkurang banyak siswa lain yang mulai
meninggalkan sekolah dan yang berteduh di bawah gapura pun satu per satu pergi.
Hingga menyisakan aku dan seorang siswi setingkat denganku. Tangan kirinya
menengadah ke air hujan yang masih berjatuhan, lalu kanannya pun menyusul. Muncullah
sebuah genangan air di telapak tangannya, ia usapkan di punggung tangan. Kemudian
ia pejamkan mata sejenak sambil menghirup aroma hujan di tangannya dan membuka
kembali matanya. Ia mengeluarkan sebuah payung lipat bermotif bunga-bunga kecil
berwarna biru muda.
Lirikan datarnya mengagetkanku yang sedari tadi
memperhatikannya, aku pun jadi salah tingkah. Kemudian ia tersenyum kecil
sambil membuka payungnya tersebut.
“Mau
ikut?” tawarnya ramah.
Aku tertegun bingung dengan tawarannya yang
memang kubutuhkan saat ini. Keputusan ikut pun aku keluarkan demi menghemat
waktu untuk memainkan Dota 2 game
favoritku.
“Mm,
kenapa kamu gak langsung ke halte aja? Kamu kan ada payung,” tanyaku penasaran dengan perilakunya.
“Mau
nikmatin hujan, aku gak pernah mandi hujan.”
Jawabnya singkat dan jelas.
Ingin tertawa mendengar jawabannya tetapi
segera kutahan. Ia melirikku dengan datar lalu kembali memandang ke depan
sembari menaiki anak tangga halte. Aku lebih dulu ke dalam halte, ia kembali
menengadahkan tangan kanannya hingga menggenang sedikit air. Ia berjalan ke
dalam halte dengan tangannya yang terisi air, kemudian berdiri di sebelahku.
“Buka
tangan kiri kamu,”
perintahnya.
Aku cukup kaget dan bingung dengan perintahnya,
tetapi kubuka tangan kiriku. Ia menumpahkan air hujan yang ada di tangan
kanannya, aku menatap dengan saksama air hujan yang kini separuhnya berpindah
padaku.
“Kamu
pasti gak suka hujan kan?”
tanyanya membuatku sedikit kaget karena sesuai dengan faktanya. “Itu biar kamu ngerasain gimana sejuknya hujan
dan bisa bikin tenang,”
lanjutnya.
Aku tersenyum simpul mendengarnya, “makasih ya, aku Oka kalo kamu?” aku mengulurkan tangan kananku.
“Aku
Ame kelas XI Ips 2,”
jawabnya dengan senyum manis hingga aku tak sadar uluran tangan ini tak
disambutnya dan ia pun kembali membuka payungnya membelah lautan rinai dengan
langkah ringannya.
~~~End
of flashback~~~
Dua minggu sudah pertemuan tak sengaja aku dan
Ame. Dalam waktu selama itu pula aku tak pernah berjumpa atau sekedar melihat
sedikit batang hidung gadis bertubuh kecil dengan hijab itu. Untuk ke sekian
kalinya juga aku mengulang-ulang memori pertemuan itu. Bahkan aku sangat
berharap hujan datang deras setiba pulang sekolah dan aku bisa bertemu
dengannya. Jujur aku tidak berani menghampiri kelasnya dan bertanya-tanya
tentang dia, walaupun sebenarnya sesekali aku mencari akunnya di sosial media.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.20 wib aku
masih bertatap muka dengan moni—monitor
maksudku—memainkan Dota 2 dan aku bangga karena game ini telah dimainkan satu juta player dalam waktu yang sama. Tiba-tiba
sebersit pikiran melintas di kepalaku, masih tentang Ame. Tentang kenapa aku
tidak pernah bertemu dengannya lagi. Apa mungkin aku hanya berkhayal saat itu,
tapi kenapa terasa begitu nyata jika hanya sebetas khayalan? Kenapa pula
sosoknya hilang begitu saja? Apa dia punya kristal teleportasi? Ah ini dunia
nyata, bukan anime.
Kudengar suara hujan mulai mengisi keheningan
malam dan berharap dapat bertemu dengannya adalah hal yang mustahil. Aku rasa
begitu.
***
Dua bulan berlalu bukan tanpa aku
memikirkannya, tetap aku memikirkannya tentang sosoknya yang begitu gaib. Hingga
kini hujan deras berganti dengan sorotan panas matahari bertubi-tubi. Harapan
untuk melihat payung biru muda bermotif bunga-bunga itu mekar dapat dikatakan
sirna.
Aku menelan ludah sembari menunggu fathan
mengenakan sepatunya, hari ini kami akan latihan untuk e-sport competition
bulan depan. Mataku sejurus melihat ke kelas XI Ips 2 berharap ada langkah kaki
keluar menampakkan sosok itu (lagi).
“Yuk cabut,”
Fathan mengajakku segera beranjak pergi dari sekolah.
Aku mengikuti ajakan Fathan dan berjalan di
sebelah kirinya. Sesekali aku melihat ke arah kelasnya lagi dan mencari-cari di
antara kerumunan siswa yang berjejal keluar.
“Nyari
siapa, Ka?” tanya Fathan membuatku sedikit kaget karena
gerak-gerik pengintaianku diketahuinya.
“Oh,
itu, nggak ada kok.”
Jawabku buru-buru.
Fathan mengangguk sambil berkata “Oh”.
Aku menghela nafas perlahan lalu menyeka
keringat yang ada di dahiku.
“Kalo
emang ada yang dicari, ya cari dong, jangan sampe bingung sama bikin permainan
kita kacau.” Ujar Fathan tanpa menoleh sedikit pun padaku
dan terus berjalan.
Sontak wajahku rasanya memanas dan mungkin
terlihat seperti udang rebus.
“Nggak
kok, beneran.”
Kataku berusaha menutupi.
“Yakin?”
Aku terdiam sejenak, “nggak yakin sih”
jawabku akhirnya.
“Than,
kamu tau Ame anak kelas XI Ips 2?”
tanyaku dengan nada memburu.
Fathan tersenyum kecil, “Oh jadi gara-gara dia ya? Aku tau kok, dia anak
pindahan dari Tangerang, tapi sekarang dia udah gak masuk-masuk sekolah lagi.” Jelas Fathan nada bicaranya berubah sedih saat
di kalimat terakhir.
“Dia
emang kenapa?”
tanyaku spontan.
“Aku
dengar dari temen sekelasnya, dia sakit Limfoma.”
Jawab Fathan.
Dahiku berkerut ketika mendengar kata ‘Limfoma’.
“Kamu
browsing aja biar lebih jelas.” Fathan tahu maksud dari kerutan dahiku.
“Kira-kira
kapan musim hujan lagi?”
tanyaku.
“Bulan
yang ada ber-ber-nya,”
jawab Fathan menerawang.
“Yah
masih lama,” keluhku.
Fathan tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku, “jangan buat permainan kita kacau ya, cuma
gara-gara kamu jatuh cinta sama hujan, ah Ame maksudku!”
Seketika darahku berdesir hangat melintas dari
ubun-ubun hingga ujung kaki. Rasanya aku jadi salah tingkah.
“Si,
siapa yang jatuh cinta sama Ame?”
elakku.
Fathan mengibaskan tangannya, “Alah jadi kalo bukan Ame, maksud kamu sama
hujannya? Oka, oka, nihongo[1]ku
gak buruk-buruk amat, ame itu hujan. Lagian juga sejak kapan kamu suka hujan,
ya kan?”
Ya, ya, hipotesis Fathan benar. Aku ketahuan
kalau aku memang menaruh hati dengan si Hujan di tengah kemarau yang
menusuk-nusuk ini. Tak hanya itu, aku juga berharap ada hujan datang layaknya
oase di gurun pasir.
***
Plang kelas XI Ips 2 terasa seperti melototiku,
menginstruksikan bahwa segera mungkin aku masuk ke dalamnya melaksanakan misi mencari
tahu bagaimana Ame sekarang. Semalam suntuk aku memikirkannya hingga Fathan
membiarkanku sementara waktu untuk tidak latihan, tetapi kata untuk tidak ‘nge-game’ itu rasanya aneh bagiku. Game itu sudah mendarah daging ibarat kata begitu :v.
Kini aku telah berada di dalam kelas XI Ips 2
dengan langkah gontai aku menghampiri Rio—rekan
nge-gameku juga—yang sedang asyik membaca majalah bulanan anime
dan game. Rio yang sadar akan
kedatanganku segera menutup dan memeluk majalahnya, ia kira aku akan ikut
nimbrung membaca.
“Mau
ngapain Ka?” tanya Rio was was.
“Ada
yang mau aku tanyain,”
jawabku sambil duduk di kursi depan Rio.
Rio menautkan alis rumput lautnya.
“Ame,
kamu tau gimana dia sekarang?” tanyaku
langsung.
Raut wajah semi orientalnya Rio mendadak
menimbulkan seribu tanda tanya. Ia menelan ludah, kemudian bersendawa kecil.
“Kok
tiba-tiba kamu dateng ke sini terus nanyain Ame Utari si anak baru itu, emang
kamu kenal? Aku aja yang sekelas—“
“Oke,
thanks Io!” potongku cepat. Kesimpulannya Rio gak tau
apa-apa.
“Eh,
ntar dulu mas bro,” Rio
mencegahku untuk beranjak dan aku pun kembali duduk.
“Yang
aku tau ya soal Ame, dia itu sekarang lagi istirahat total di rumahnya. Minggu
kemaren aku, Adji, sama Fathan juga jenguk dia.”
Jelas Rio tapi di kalimat bagian akhir aku sedikit bingung.
“Fathan?
Fathan ikut jenguk Ame?”
tanyaku kayak orang bego’.
Rio mengangguk, “kok
kaget? Fathan kan udah lama suka sama Ame makanya dia ikut.” Ujar Rio santai.
Jleb! Rasanya seperti dilempar ke tengah-tengah
arena dan dilempari dengan bola api mendengar perkataan Rio.
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum bingung,
“aku kudet kayaknya, Io.” Kataku miris.
“Yow
ente kudet, Gan.” Rio
menegaskan kembali perkataanku.
***
Bagian sudut kanan kantin terasa mencekam,
panas terik menembus atap mengeluarkan bulir air dari dinginnya bubble tea dan
membasahi meja. Seporsi batagor terasa hambar di mulutku, berbanding terbalik
dengan semangkuk bakso di hadapan Fathan yang kini nyaris tandas. Sendawa
besarnya mencuri perhatian siswa yang berada di meja sebelah. Dengan senyum dan
anggukan, Fathan mohon maklum pada si siswa itu. Aku rasa Fathan tak merasakan
apa-apa.
“Tumben
gak abis, badmood banget kayaknya. Efek si Ame luar biasa ya sampe kamu cuek
sama makanan ckck.”
Ujar Fathan sambil menusuk potongan pangsit di mangkukku.
“Than?”
“Hh?”
“Kamu
suka sama Ame?”
tanyaku pelan dan dalam.
Fathan menatapku datar sambil mengunyah batagor
lalu menelannya pelan, “iya,
aku suka sama Ame. Bahkan jauh lebih dulu dari kamu.” Jawab Fathan.
“Terus kenapa kamu gak bilang-bilang sama aku
kalo kamu suka sama dia? Juga kenapa kamu malah ngedukung aku buat cari tau
tentang dia?”
buruku.
Fathan menatapku dalam lalu ia melipat kedua
tangannya di atas meja, “Kamu
pasti tau kalo aku sakit banget saat denger kamu suka sama Ame, apalagi kita
sahabat, rekan satu tim game pula.”
Aku menelan ludah, “kenapa kamu gak cerita sama aku kalo kamu suka
sama cewek udah lama lagi, dan juga aku gak akan suka sama Ame. Aku gak mau,
Than, cuma gara-gara cewek persahabatan kita hancur.” Terangku sedikit emosi.
Fathan tertawa kecil terlihat seperti mengejek
sih.
“Kenapa
lucu?!” bentakku.
“Kamu
pasti bakalan ketawa kalo aku bilang lagi suka sama cewek,” jawabnya santai.
“Mak,
maksudnya?” aku bingung.
“Kamu
gak inget, dulu kamu bilang ‘jatuh
cinta itu bahaya, bisa ngurangin power kita’ dan
aku gak mau powerku berkurang cuma
gara-gara jatuh cinta doang. Makanya aku diem-diem aja, aku takut kalo diumbar
efeknya bener-bener ngaruh.”
Jelas Fathan.
Aku menatap Fathan bingung lalu menggigit bibir
bawahku, “iya bener sih, yang kena sekarang itu aku, powerku berkurang.” Pada dua kata terakhir nada bicaraku melemah.
***
Seikat bunga segar akan kubawakan untuk Ame,
sesuai rencananya Fathan, ia akan menemaniku menjenguk gadis yang sama-sama
kami sukai itu di hari ini. Aku bingung harus membawa apa, karena hanya satu
hal yang aku tahu apa yang ia sukai—hujan.
Mana mungkin aku membawa air hujan di tengah kemarau membara ini.
Sebuah
rumah cukup besar tepat di depan kami, Fathan menepuk pundakku. Seolah memberi
isyarat ‘maju’. Anggap
saja ini arena permainan dan aku jadi karakter utamanya.
Dengan diiringi seorang wanita paruh baya
berperawakan Jepang yang merupakan ibu Ame sendiri, kami masuk ke dalam sebuah
ruangan cukup besar untuk ditempati seorang gadis. Di dalamnya terdapat sofa
yang terletak di sudut ruangan, tepat di tempat tidur Ame duduk bersandar dipan
sambil membaca novel. Kedatangan kami ternyata belum disadarinya mungkin karena
sedang asyik sekali.
“Ame-chan,
anata no tomodachi koko ni iru kara[2].” Kata ibunya yang segera membuat anak gadisnya
menutup bacaannya.
“Hai
Kaa-san,” jawab Ame.
Ibunya Ame sedikit membungkukkan badannya, kami
pun membalas dengan hal serupa. Kemudian ia keluar ruangan.
Ada hujan turun tiba-tiba di tengah kemarau. Sungguh
menakjubkan aku bisa kembali melihat senyum manis itu walau bukan di musim
hujan. Sekarang ia berada tepat di hadapanku. Apakah ia masih ingat denganku? Hanya
dengan satu kali pertemuan waktu itu. Kenyataannya sesuai dengan ekspetasiku,
bahkan ia menyebut namaku perlahan. Rasanya tubuhku bergetar lebih-lebih
menghadapi musuh terkuat saja. Senyum-senyum kecil yang coba kusembunyikan
memaksa keluar. Sebegini kah ketika bertemu dengan orang yang kita sukai? Mungkin
iya (untukku). Sampai-sampai aku lupa kalau ada Fathan juga.
“Ha,
hai Ame, ini buat kamu,” aku
sedikit terbata sambil menyerahkan seikat bunga padanya.
“Makasih
ya, bunganya cantik aku suka.”
Kata Ame senang sambil melihat-lihat detail bunga yang kuberikan.
Aku mengangguk pelan, tapi senang.
“kamu
ke sini bareng Fathan ya?”
“Iya,
Me, bareng sama aku. Dia penasaran banget sama kamu loh, jadi aku anterin deh.” Fathan yang malah menjawab otomatis aku
langsung salah tingkah.
Ame mengangguk-angguk,
semburat merah muda menghiasi pipi putihnya.
“Me,
aku baca-baca koleksi kamu boleh kan?”
Fathan menunjuk ke arah rak buku yang berada di dekat sofa.
“Boleh
kok, baca aja, Than.”
Kata Ame ramah.
Ja, jadi maksudnya Fathan, dia ninggalin aku di
sini sendirian, eh enggak maksudku berdua aja sama Ame. Fathan menyenggol
sedikit lenganku, entah isyarat apa yang ia berikan. Kemudian ia langsung
melesat ke rak buku.
“…”
diam sejenak.
“Ame,” kataku pelan.
“Ya?” jawabnya.
“A,
aku seneng banget ternyata kamu suka sama bunga yang aku kasih. Tadinya aku
bingung mau ngasih apaan, mau ngasih air hujan tapi kan lagi kemarau. Kayak gak
mungkin gitu ya, oh iya gimana kamu udah baikan kan?” cerocosku bercampur sedikit gugup.
Ame tertawa kecil, aku pun heran kenapa.
“Alhamdulillah
aku udak baikan kok, bunganya cantik, makasih ya udah mau jengukin aku. Mmm,
udah lama ya kita gak ketemu setelah musim hujan kemaren itu.” Jawabnya, kalimat terakhir membuat jantungku
berdebar.
“Ee, i,
iya udah lama kita gak ketemu. Aku pikir kamu udah lupa sama aku, a. aku seneng
banget ternyata kamu gak lupa.”
Kataku, aku tak sanggup menahan kebahagiaan yang memaksa tampil di wajah khas
minang ini.
Ame tersenyum penuh wajahnya terasa teduh
sekali, “tenang aku gak pikun kok, hehe.” Ia
pun tertawa kecil, “hm,
hujan kapan ya dateng? Kemaraunya jadi terasa panjang banget.” Matanya menerawang berharap hujan datang.
Aku terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang
tepat, “Ame, kamu mau nikmatin hujan sama aku?” setengah gugup aku mengatakannya.
Ame memandangku dengan senyum kecil mengukir
bibir merah mudanya, lalu iya mengangguk. Matanya berkaca-kaca.
“Aku-janji-akan-membawamu-kepada-hujan-shinjeteru[3].” Aku mengacungkan jari kelingking sebagai tanda
perjanjian, lalu Ame membalas mengaitkan kelingkingnya. Matanya yang
berkaca-kaca itu kini perlahan meleleh.
Terima
kasih, kau telah membuatku jatuh hati pada hujan.
0 Response to "Like Smell of the Rain"
Posting Komentar