Seorang Lelaki dan Selingkuh

Ilustrasi : smpn2amt.blogspot.com
 
Cerpen : Afifah Afra
 Lelaki itu merapatkan jaket tipis kumalnya lekat-lekat hingga menempel ketat pada rusuk-rusuknya yang bertonjolan, ketika angin yang bertiup kencang itu menebarkan hawa dingin yang cukup menggigiti tulang sunsumnya.
Ia menekuk lutut, menautkan pada perut seraya terus duduk meringkuk di dalam becaknya, mencoba menciptakan kehangatan di tengah badai yang semakin menderas.
“Dingin ya, Mas?” ujar Darman, yang sejak tadi klepas-klepus menyedot batang rokoknya di atas sadel becak yang terparkir di sampingnya. Ujung kretek yang tampak merah dengan kepulan asap yang bergumpal-gumpal sejujurnya membuat lelaki itu berkali-kali menelan ludah. Merokok di malam yang beku... sepertinya sangat nikmat. Setidaknya, pasti akan mampu membuat tubuhnya sedikit menghangat.

Tetapi, tidaklah! Ia sudah berjanji kepada Supeni, istri yang ia lamar dengan proses yang susah payah, bahwa ia tidak akan merokok. Selamanya! Baik kretek, filter, cerutu atau pun sekadar puntung rokok. Sekali tidak tetap tidak. Dan ia sudah memegang janji itu sejak empat tahun silam. Apakah ia akan mengingkarinya hanya gara-gara tak kuat menahan dingin. Bah, lelaki macam apa dia?
“Ya maklum, Man!” jawab lelaki itu, setelah kembali menelan ludah melihat Darman menghisap batang rokok itu dan memejamkan mata, tampak sangat menikmati sedapnya kepulan nikotin yang bergulung-gulung mendesaki paru-parunya. “Ini kan sudah musim hujan.”
“Dingin-dingin seperti ini, mana ada orang yang pada keluar rumah dan mau pakai becak, apalagi sebentar lagi hujan akan turun,” keluh Darman. “Sepertinya, sampai pagi kita akan tetap mangkal disini, tanpa seorang pun penumpang yang bisa kasih kita uang. Alamaaak!”
Lagi-lagi Darman menghisap rokoknya, sementara lelaki itu semakin terpaku di becaknya, menahan gigil.
“Ndak kebayang mas, kalau bajaj jadi masuk Solo. Wah, kita bisa-bisa gulung tikar alias bangkrut! Ndak ada lagi yang berminat naik becak.”
“Wis... Man, nggak usah ngeluh begitu. Rezeki itu kan Allah yang ngatur. Biarkan saja bajaj masuk, siapa tahu... kita malah bisa naik pangkat jadi sopir bajaj,” ujar lelaki itu, mencoba menghibur Darman, meskipun keresahan temannya itu... yang rupanya menjadi keresahan para tukang becak di Solo pada umumnya, juga bertalu-talu menyesaki rongga dadanya.
Angin kencang kembali bertiup, kali ini bersama titik-titik gerimis yang airnya sepertinya hampir sedingin butiran es krim.
“Rokok, Mas!” Darman menyodorkan sebungkus rokok murahan yang sejak tadi dihisapnya ke arah lelaki itu. Sesaat sang lelaki tertegun. Dadanya turun naik menahan gejolak hasrat yang tiba-tiba memburunya. Hampir saja ia meraih bungkusan yang begitu menggoda itu jika saja wajah Supeni tak segera bermain-main di kelopak matanya.
“Ah, nggak... Man! Aku nggak merokok, lho!”
“Alaaah, Mas Wied ini. Dulu aku tahu, sampeyan ini sangat hobi merokok. Ya, kan? Sehari sampai dua bungkus. Lha, sekarang kok jadi berubah begitu?”
“Boros, Man... kalau merokok itu. Sehari lima ribu bisa melayang, padahal penghasilan kita sebagai tukang becak itu berapa, sih?”
“Iya. Tetapi sekarang dingin banget, Mas. Ngerokok barang sebatang dua batang ndak papa toh, lagian... ini kan gratisan!” Darman semakin gencar melambai-lambaikan bungkus rokok itu. Air liur mengucur makin deras di kerongkongan Wied, lelaki itu.
“Aku takut ketagihan, Man! Sudahlah, kau simpan saja rokok itu. Sekarang aku mau jalan saja, cari penumpang di jalan. Siapa tahu nasibku lagi untung.”
Lelaki itu kini turun dari becaknya, lalu meloncat ke sadelnya dan mengayuh becak itu kuat-kuat.
Harus segera pergi! Jika tidak, ia benar-benar bisa tergoda.
Ah, kalau mau jujur, sebenarnya merasa tidak terlalu bermasalah jika harus menyedot barang sebatang dua batang rokok. Ia yakin, itu tak akan membuatnya kembali ketagihan. Tetapi bukan itu masalahnya. Ia merasa, selama ini ia tidak merokok bukan karena takut dengan bahaya nikotin yang katanya merusak jantung dan paru-paru itu. Bukan pula ia khawatir akan menjadi boros. Kedua faktor itu memang mempengaruhi, tetapi sangat kecil kadarnya dibanding janji yang pernah ia ucapkan di hadapan Supeni.
Ya, janji.
Benar kata Darman, sebelum menikah dengan Supeni, ia adalah perokok berat. Dan itulah satu-satunya alasan yang membuat Supeni tampak enggan menerima lamarannya.
“Sampeyan ini lelaki yang baik, aku tahu itu, Mas. Makanya aku ndak akan takut jika sampeyan kelak berselingkuh dengan wanita lain. Tetapi yang membuatku khawatir, sampeyan akan tetap klepas-klepus dengan rokok sampeyan itu.”
“Jadi kamu nggak rela aku jadi perokok?”
“Ya. Menurutku, rokok itu sama saja dengan cewek simpanan sampeyan.”
“Rokok sama dengan cewek simpanan?” Wied mengerutkan kening.
“Iya. Yang namanya cewek simpanan, itu pasti akan menggerogoti kantong sampeyan, terus akan lebih sampeyan utamakan daripada aku kelak kalau sudah jadi istri sampeyan.”
“Jadi, jika aku merokok, kau menilaiku sudah tidak setia sama kamu, Pen?”
“He-eh. Pokoknya, kalau sampeyan benar-benar ingin jadi suamiku, sampeyan harus meninggalkan itu pacar sampeyan. Ya rokok itu!”
Kowe iki lucu!” Wied terbahak, tetapi Supeni malah tersinggung.
“Jangan menyepelekan syaratku! Aku tahu, sampeyan ini baik, bertanggung jawab, sholeh dan perhatian. Tetapi itu ndak cukup. Sampeyan harus lebih dulu memutuskan hubungan sama pacar sampeyan itu.”
“Pacar? Aku ndak punya pacar, Pen!”
“Maksudku ya rokok itu, Mas!”
Sangat berat meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaan itu. Tetapi toh akhirnya Wied bisa juga. Setelah 3 bulan ia bersusah payah dan akhirnya berhasil, Supeni pun mau ia persunting. Tentu saja itu sebuah perjuangan yang sangat berat!
Kembali angin bertiup kencang, kali ini diiringi petir yang menggelegar dan titik-titik hujan yang menderasi bumi. Hujan turun seperti telaga yang tumpah dan tercurah begitu saja dari langit. Lelaki itu dengan cepat meraih caping bambu dan ‘jas hujan’ berupa plastik yang ia sampirkan begitu saja ke tubuhnya yang kurus.
Karena tidak kuat menerjang barisan kawat air yang meluncur dengan kecepatan tinggi itu, akhirnya ia merapat ke sebuah tempat yang cukup terlindung di dekat kios... rokok. Sesaat ia baru menyesal karena harus parkir berlindung di tempat itu. Ada beberapa orang lelaki yang sedang berteduh, dan mereka masing-masing tampak terbuai dengan gumpalan asap rokoknya.
Wied menggigil ketika angin lagi-lagi bertiup kencang.
“Rokok, mbakyu!” ujar seorang pemuda yang berada di sampingnya sembari menyodorkan beberapa lembar ribuan kepada perempuan setengah baya yang berjualan di kios itu. Transaksi berlangsung sangat singkat, beberapa detik kemudian, pemuda itu menyulut korek apinya, menyalakan batang rokok yang beraroma sedap itu. Bunyi napas yang dihempaskan oleh pemuda itu menampakkan kelegaan yang dalam. Pasti, tubuhnya telah hangat kini. Karena rokok itu.
Air liur Wied mengucur. Lagi-lagi godaan itu datang. Pelan ia meraba saku celana komprangnya. Ada selembar limaribuan disana. Dengan uang itu, ia bisa menukarnya dengan sebungkus... atau beberapa batang rokok yang enak. Dan ia akan mampu menepis rasa dingin yang membuat giginya bergemeretak menahan gigil itu. Sebatang rokok, menyulutnya dengan korek api... dan haaah! Asap akan mengepul, nikmaaat.
Nyaris saja ia mengeluarkan lembaran uang itu jika tiba-tiba saja ia tidak teringat, bahwa lembaran itu adalah satu-satunya uang yang ia miliki. Jika ia menukarkan uang itu dengan rokok, bukan saja ia telah mengkhianati Supeni, bidadarinya... namun ia juga telah mengorbankan apa yang semestinya menjadi hak Supeni. Dengan uang itu, jika terpaksa ia harus pulang tanpa tambahan uang karena nihil penumpang, maka Supeni masih bisa membeli sekilo beras, sayur dan mungkin tempe goreng. Mereka sekeluarga akan bisa makan dan kenyang. Coba jika ia gunakan untuk membeli rokok. Hanya kehangatan sesaat, namun esoknya mereka akan kelaparan.
Betapa tidak manusiawinya dia!
Wied pun memasukan kembali lembaran uangnya, meski dengan hati gundah. Bayangan rokok yang lembut dan berbau harum itu melambai-lambai di angannya, membuat ia merasa mendadak seperti ibu muda yang tengah ngidam 2 bulan.
“Becak, mas!” seru seorang lelaki setengah baya, tiba-tiba.
Wied menegakkan kepalanya. Diakah yang dimaksud?
“Saya, Pak?”
“Iyalah. Yang bawa becak kan cuma kau! Kerten berapa?”
“Tiga ribu, Pak!”
“Wah, mahal sekali. Dua ribu, ya!”
Sebenarnya 3 ribu tidak mahal, tetapi daripada tak ada penumpang? Hujan-hujan begini ada orang yang mau naik becak, itu rezeki nomplok.
“Baiklah, pak!”
* * *
Sudah ada uang sebesar dua belas ribu di sakunya, sementara malam beranjak larut, dan tentu saja semakin dingin. Hujan belum juga reda, bahkan tampaknya semakin deras. Tak ada tanda-tanda hendak berhenti. Wied mengayuh becaknya dengan sepasang kaki yang terasa kaku.
“Dingin-dingin seperti ini... enaknya tentu saja merokok...,” desisnya sambil menepis air hujan yang menerabas celah-celah caping bambunya.
Ada uang duabelas ribu. Artinya, jika ia membeli sebatang atau dua batang rokok, tak akan terlalu mengurangi jatah Supeni. Paling-paling hanya berkurang seribu dua ribu perak, dan ia akan mendapatkan kehangatan. Malam yang berat akan ia lalui dengan lebih enak.
Tetapi... tidak! Semula mungkin cuma sebatang, lama-lama kecanduan. Supeni tentu akan sangat marah kepadanya. Ia akan menuduh bahwa sang suami telah berselingkuh dengan pacar lamanya, batang-batang rokok keparat itu! Tidak, tidak!
Wied menggelengkan kepalanya kuat-kuat, termasuk ketika melewati sebuah kios rokok yang memang banyak bertebaran di pinggir-pinggir jalan raya. Persetan, kau rokok! Baginya, Supeni jauh lebih berharga dari seribu bungkus rokok termahal sekalipun.
“Becaaak!” teriak seorang ibu tiba-tiba, membuyarkan lamunan Wied.
“Becaaak!”
Cepat Wied mengarahkan laju becaknya ke arah ibu tersebut.
“Tolong antarkan ke rumah sakit Kustati, ya Mas!”
Rumah sakit Kustati? Jauh sekali ... hujan-hujan begini? Ya ampuun ... ini rezeki atau bencana?
“Bisa ya Mas! Anak saya sakit, tadi telepon taksi nggak dijawab. Jaringan telepon rusak. Benar, ya Mas! Tolong!”
Wied berpikir sejenak, namun akhirnya mengangguk juga.
“Baiklah, Bu!”
Dan mengayuh becak menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 5 KM dalam kondisi hujan benar-benar sebuah perjuangan berat baginya. Bukan saja hujan yang deras menerpa, angin yang bertiup kencang pun membuatnya nyaris tak berdaya. Tubuh kurusnya telah basah kuyup, membuatnya berkali-kali terbatuk-batuk.
Tetapi menolong orang jelas lebih penting. Kali ini, ia bukan sekadar mengais rezeki, tetapi juga berbuat kebaikan.
“Terimakasih, ya Mas!” ujar si Ibu seraya membungkuk-bungkuk. “Ini ongkos becaknya!”
Mata Wied terbelalak. Tiga lembar puluhan ribu! Tigapuluh ribu? Banyak sekali.
“Dan ini bonus uang rokok buat Mas!”
Lidah Wied terasa kaku. Rokok...  ada uang rokok?
Tidak! Ia tidak akan mengkhianati cinta Supeni. Tidak! Cepat ia menggeleng. “Maaf, Bu! Saya tidak merokok!”
“Wah, bagus sekali itu! Saya senang sama pria yang tidak merokok! Tetapi uang ini, diterima saja. Saya senang sekali, sudah dibantu!”
Wied tersenyum menahan haru.
* * *
Malam ini ia benar-benar mujur. Cuaca memang buruk, tetapi jumlah uang yang ia kantongi bahkan dua kali lipat lebih banyak dibanding hari-hari biasa, saat cuaca baik. Padahal waktu baru menunjukan pukul 11 malam. Biasanya, jam satu dini hari baru ia pulang. Ini pasti hadiah atas kesetiaanku sama kamu, Pen! Desis lelaki itu, semakin melebarkan senyumnya.
Ia telah terhindar dari godaan yang sangat berat. Godaan untuk berselingkuh, dengan pacar lamanya... tentu saja bukan seorang wanita, tetapi... rokok!
Sekarang aku pulang, Pen!

Wied mengayuh becaknya penuh semangat, memasuki sebuah gang sempit tempat ia dan Supeni mengontrak sebuah rumah mungil yang sangat sederhana. Namun ketika memasuki halaman rumahnya, sepasang matanya mendadak terbelalak. Sebuah sepeda motor terparkir di depan rumah, membuat ia diam-diam turun dari becak dan berjingkat menuju pintu.
Ada asap rokok mengepul. Bau rokok mahal.
“Maaf, aku merokok, Pen!”
“Oh, nggak papa....”
“Tetapi mas Wied kan tidak merokok.”
“Aku yang melarang. Masak tukang becak seperti dia merokok, bisa-bisa uangnya habis buat beli rokok, terus... mau makan apa? Kalau mas kan cukup kaya.”
“Jadi nggak papa aku merokok? Kupikir kamu nggak suka melihat laki-laki merokok.”
“Kalau kamu yang ngerokok, aku tetap suka, Mas!”
“Benar? Eh, kalau suamimu tiba-tiba pulang, bagaimana?”
“Tenang saja, suamiku baru akan pulang nanti jam satu malam. Masih ada waktu 2 jam…
“Kau mau merokok?”
“Ngg... boleh... sini, aku coba!”
“Kau cantik sekali, Pen! Mestinya kamu nggak jadi istri tukang becak..., tetapi jadi istri orang semacam aku.”
“Mas....”
Percakapan itu begitu jelas memasuki gendang telinga Wied. Sebenarnya lirih, namun tertangkap di syarafnya seperti ledakan guntur. Lelaki itu pun merasakan tubuhnya bergetar kencang.... Ada yang merangsek dalam hatinya... luka!
Begitu dalam. Ia tak tahu apa yang mesti ia lakukan.

 
Surakarta, 26 Mei 2004
Sumber: afifahafra.net

0 Response to "Seorang Lelaki dan Selingkuh "

Posting Komentar