“Walaupun
kamu buat seribu miniatur rumah Limas, saya gak bakalan setuju kamu sama
Indri!”
Dua hari yang lalu
kalimat mencekam di atas dilontarkan oleh Bapak Indri, tapi efek ganasnya
sampai sekarang terasa di hati Ikhsan. Sakit hati sih pasti, datang baik-baik
pulang ditendang. Maksud hati ia datang
ke sana untuk melamar sang kekasih hati, tapi malah dibentak habis-habisan.
Pertanyaan ‘kenapa gak setuju Indri sama aku?’ kerap kali terngiang di
kepalanya. Namun jawabannya pun tak kunjung tahu, jika ditanya sama Indri pasti
jawabnya ‘aku gak tahu kenapa, yang jelas kata Bapak gak setuju’. Dan dengusan
pun keluar setelah mendengar jawaban tersebut.
Sembari mengamati
miniatur rumah Limas yang separuh jadi Ikhsan yang merupakan lulusan arsitektur
Universitas
Sriwijaya
ini kembali menata mental untuk datang (lagi) ke rumah Indri dengan harapan
dapat secercah restu dari si Bapak. Pikirannya cukup kacau, akibatnya ia jadi
malas melanjutkan pembuatan miniatur rumah Limas yang akan dipamerkan dalam South Sumatera Culture Festival yang
waktunya tinggal sepekan lagi. Potongan kayu kecil ia mainkan guna menghilangkan
bosan.
Dering Line datang dari
Ridwan sahabat sekaligus rekan kerjanya.
Ridwan Fikri : San, aku otw ke markas.
Sisanya itu biar aku aja yang selesaiin.
Ikhsan Aditya : Oke Wan!
10
menit kemudian muncullah sosok tinggi, sawo matang, berisi, dan cepak ialah
Ridwan Fikri dilengkapi pula dengan lidah cadel menyebut ‘r’ salah satu ciri
khas wong Palembang nian. Ikhsan
menyambut baik kedatangan sahabatnya tersebut.
“Masih
galau?” tanya Ridwan sambil mengambil alih meja tempat membuat miniatur.
Ikhsan
mendengus, “Gak juga tuh.” Jawabnya bohong.
“Alah,
udah kebaca di jidat kamu masih galau.”
“Yah
mau gimana lagi coba? Pake cara apa aku ngeyakinin Bapaknya?”
“Emang
Bapaknya itu gak mau punya anak mantu arsitek? Aneh arsitek itu keren tau.”
“Itu
menurut kita keren, lah kalo menurut Bapaknya kan beda.”
Ridwan
melirik sejenak wajah dongkol Ikhsan, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Mending
sekarang itu kamu fokus sama proyek kita ini, kan tambah keren kalo
miniatur-miniatur ini jadi favorit pengunjung festival, ya gak?”
“Iya.”
---ooOoo---
Langit yang memayungi Palembang
siang ini cukup menantang dengan teriknya pancaran matahari. Berbeda dengan
keadaan salah satu ruangan restoran siap saji di lantai dua Palembang square mall yang terasa dingin. Betapa
pun keadaan yang berbalik ini masih sanggup menceloskan hati Ikhsan saat
mendengarkan kalimat menyakitkan dari mulut Indri. Hatinya rasa terbelah-belah
lalu diberi perasan air jeruk nipis begitu perih. Es teh yang manis itu kini
terasa hambar lalu ia seruput pelan. Di hadapannya duduklah seorang jelita
berpashmina ungu muda bernama Indriaswari yang kerap dipanggil Indri.
Wajah putih bersih Indri terlihat
sangat tak enak hati.
“Bapak maksa aku buat nikah sama
Danu, kalo aku gak nikah sama dia nasib Bapak bisa habis gara-gara hutangnya
yang kelewat tinggi. Sebenarnya aku gak mau tapi mau gimana lagi. Aku gak tega
liat Bapak terlilit hutang makanya aku terpaksa nikah sama dia. Aku harap kamu
ngerti, San. Semoga kamu bisa nemuin jodoh yang jauh lebih baik dari aku.”
Jelas Indri dengan mata berkaca-kaca.
Ikhsan tertunduk dalam mendengarkan
penjelasan yang sebenarnya sulit ia terima tapi harus diterima dengan terpaksa.
“Maafin aku, San.” Ujar Indri lirih,
kemudian tangan kanannya menyodorkan sebuah kotak kecil berisi cincin pemberian
Ikhsan.
“Ini aku kembaliin, aku gak pantes
nerima itu.” Ujar Indri lalu ia beranjak perlahan dari duduknya dan pergi
meninggalkan Ikhsan sendirian.
Cukup lama Ikhsan termenung di meja
restoran sembari mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan Indri agar dapat ia
terima dengan lapang dada. Merasa bosan, ia pun beranjak membayar bon minuman
yang ia pesan tadi lalu pulang ke rumah. Setiba di rumah, ia hanya ditemani
seperangkat alat dan bahan miniatur Limas. Tangannya tiba-tiba tergerak sendiri
untuk membuat satu buah lagi miniatur tapi bukan untuk dipamerkan di festival,
melainkan sebagai tempat menaruh cincin tadi.
---oooOooo---
Sabtu, 13 September hari H festival
diselenggarakan di Benteng Kuto Besak. Banyak stan-stan yang menjual dan
memamerkan pernak-pernik khas Sumatera Selatan, makanan khas, pakaian adat, dan
ada satu panggung besar tempat untuk pementasan seni tari tanggai, gending
sriwijaya, dan tarian lainnya. Selain itu ada juga pementasan teatrikal Dul
Muluk lenong khasnya Sumatera Selatan yang sangat ditunggu-tunggu Ridwan.
Ikhsan, Ridwan, dan dua rekan
arsitek lainnya mengisi salah satu stan miniatur rumah Limas. Tampak stan
mereka dikunjungi oleh dua orang perempuan yang sebaya dengan mereka. Dengan
ramah Ikhsan menyambut pengunjung.
“Miniaturnya bagus ya,” ujar salah
satu perempuan sambil memegang bagian atap miniatur.
“Berapaan ini, mas?” tanya salah
satunya sambil menatap wajah Ikhsan dan Ridwan bergantian.
“Ikhsan, Ridwan kan?” tebaknya.
Keduanya pun mengangguk sambil
menimbang-nimbang siapa gadis di depan mereka ini.
“Inget gak sama aku?” tanyanya.
“Ngg… tunggu sebentar, kamu ini
Faiz, iya kan?” tebak Ikhsan.
Gadis yang bernama Faiz itu
mengangguk senang.
“Oh iya, Faiz! Apa kabar kamu? Udah
nikah?” seloroh Ridwan.
Sontak wajah Faiz memerah mendengar
pertanyaan Ridwan yang bagi Ikhsan terasa menjebak sekaligus menyindir.
“Alhamdulillah baik, haha belum kok,
masih single.” Jawab Faiz dilengkapi
dengan tawa renyah.
“Noh San, Faiz masih single tuh.”
Goda Ridwan sambil menyikut lengan Ikhsan.
“Apaan sih, Wan? Bukannya kamu juga single?” ledek Ikhsan tak mau kalah.
“Hahaha aku udah ada gandengan tau,
kamu kudet sih!”
Sejenak Ikhsan merasa salah tingkah
dengan keadaan yang terasa menjepitnya itu. Bertemu teman satu SMA di festival
dengan keadaan hati yang masih terkategorikan galau. Tapi rasanya itu
bergejolak.
“Oh iya, kamu mau beli miniaturnya?
Murah kok Cuma Rp. 125.000,- buat kamu, Iz.” Tawar Ridwan dengan gaya seperti
pedagang ulung.
“Iya, iya aku beli kok satu ya.”
Kata Faiz lalu ia memberikan tiga lembar uang kertas dengan bilangan yang pas.
“Eh Wan, bentar lagi Dul Muluk
tampil loh. Buruan gih ke sana, ntar gak ketinggalan.” Ikhsan mengingatkan.
“Aku gak jadi nonton Dul Muluk, kamu
aja sana sama Faiz. Iya kan, Iz?” Ridwan kembali menggoda, sepertinya ia
benar-benar niat untuk menjodohkan sahabatnya itu.
Ikhsan kembali salah tingkah begitu
pula dengan Faiz yang hanya tertawa kecil mendengar perkataan Ridwan.
“Iz, temen kamu sini aja temenin aku
jaga stan, mau ya?” Ridwan menoleh pada teman Faiz.
“Tapi kan ada Miko sama Rian, Wan?”
sela Ikhsan.
“Yah gak apa-apa kan kalo nambah
satu orang lagi.” Jawab Ridwan enteng.
“Udah deh sekarang kalian buruan ke sana ntar ketinggalan loh.”
Perintah Ridwan sekaligus mengusir.
“Faiz aku gak apa-apa kok di sini,
buruan gih ke sana.” Kata temannya Faiz—Sofie.
Ikhsan dan Faiz saling bertatapan,
lalu keduanya berjalan berdampingan menuju panggung teatrikal. Kecanggungan
terasa di antaranya, apalagi Ikhsan yang merasa salah tingkah di hadapan Faiz. Perlahan
ia lupa akan hal kemarin dengan serunya teatrikal ini dan juga
kesalahtingkahannya terhadap Faiz.
---oooOooo---
Lima bulan kemudian…
Bahwasannya
kejadian kemarin telah memberiku sebuah pelajaran hidup yang hikmahnya dapat
aku petik. Indri yang kucinta dan kutebak sebagai jodohku itu meleset dari
perkiraan. Ia terpaksa harus dipinang oleh laki-laki lain demi suatu hal.
Begitu pula dengan Bapaknya yang galak itu yang tak dapat aku taklukan dan
tentu saja tak cocok denganku.
Aku
bersyukur dapat bertemu Faiz waktu itu, ia juga telah berhasil membuatku lupa
dan berpindah hati. Dari rangkaian miniatur Limas yang tinggi dan berukir ini
aku sampaikan bahwa dengan menjunjung tinggi rasa hormatku terhadap wanita dan
cintaku juga, aku ingin dia yang berpaut di hati ini.
Hari ini tepat tanggal 13 Februari,
acara madik dan nindai [1]di kediaman
Faiz. Kedatangan pihak laki-laki disambut hangat dengan tarian madik. Dengan
perasaan sangat bahagia dan lega, Ikhsan mengeluarkan miniatur Limas berisi
cincin yang akan ia bawakan teruntuk Faiz tersayang di akad nanti.
Terima
kasih ya Allah, Engkau maha baik anugerahkan hamba seorang bidadari di
kahyangan yang sempat berdebu ini.
-Ikhsan
Aditya-
[1]
Masyarakat Palembang mempunyai kebiasaan apabila akan memilih calon, orang tua
pria terlebih dahulu dating kerumah seorang wanita dengan maksud melihat dan
menilai (madik dan nindai) gadis yang dimaksud. Hal yang dinilai atau ditindai
itu, antara lain kepribadiannya serta kehidupan keluarganya sehari-hari. Dengan
penindaian itu diharapkan bahwa apabila si gadis dijadikan menantu dia tidak
akan mengecewakan dan kehidupan mereka akan berjalan langgeng sesuai dengan
harapan pihak keluarga mempelai pria.
0 Response to "Romansa Limas"
Posting Komentar